Belajar Adab Dulu, gres Ilmu Agama

Belajar Adab Dulu, gres Ilmu Agama
oleh : Abul Asybal, Lc.
Sebuah kesalahan para penuntut ilmu, ia hanya mengumpulkan ilmu sebanyak-banyaknya. Namun ia lupa menghiasi dirinya dengan adab-adab islami kepada yang lain : kepada ustadz, ilmu, kitab, kawan-kawan, masyarakat, orang bau tanah dan lainnya.
Tak heran bila di zaman ini kita akan menjumpai manusia-manusia durhaka kepada guru dan ustadznya yang telah mengajarinya sekian banyak jenis ilmu yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya.
Semua itu dibalas dengan budbahasa dan budpekerti buruk kepada gurunya, hingga ada diantara mereka yang meng-ghibahi gurunya, menghukuminya sebagai orang sesat, sementara itu ia tak menasihatinya. Gelar-gelar buruk tak luput dari lisannya sehingga insan yang berjasa dalam hidupnya ia gelari dengan "kadzdzab" (tukang dusta), dajjal, pencuri dan sederet gelar-gelar hina ia sematkan kepada sang guru.
Tak heran bila para salaf dan orang bau tanah mereka senantiasa mewanti-wanti bawah umur mereka jikalau mereka mengutusnya kepada seorang guru supaya si anak betul-betul menjaga watak dan perangainya di depan guru (syaikhnya).
Imam Darul Hijroh, Imam Malik bin Anas Al-Ashbahiy -rahimahullah- bercerita perihal kisah awalnya menuntut ilmu:
كانت أمي تلبسني الثياب وتعممني وأنا صبي وتوجهني إلى ربيعة بن أبي عبد الرحمن وتقول لي تأتي أنت مجلس ربيعة فتعلم من سمته وأدبه قبل أن تتعلم من حديثه وفهمه " مسند الموطأ - (1 / 95)
"Dahulu ibuku mengenakan pakaianku dan memasangkan surbanku, sedang saya masih kecil serta mengarahkanku kepada Robi'ah bin Abi Abdir Rahman, seraya ibuku berkata kepadaku, "Engkau akan mendatangi majelisnya Robi'ah. Karenanya, pelajarilah perangai dan adabnya sebelum engkau mempelajari hadits dan pemahamannya". [AR. Musnad Al-Muwaththo' (1/95) oleh Abul Qosim Al-Jawhariy]
Perhatikanlah ibu dari Imam Malik. Yang pertama dia pesankan pada anaknya supaya mengambil dan mempelajari budbahasa gurunya. Pesan mulia ini terus teringat dalam benak dia hingga ketika dia menjadi guru, jikalau menemukan penuntut ilmu pemula, maka dia nasihatkan supaya mempelajari dan memperhatikan budbahasa dulu sebelum jauh terjun dalam mengkaji dan mempelajari ilmu-ilmu lain.
Al-Imam Malik bin Anas Al-Ashbahiy -rahimahullah- berkata kepada seorang perjaka Quraisy,
((يا ابن أخي تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم))
"Wahai anakku, pelajari budbahasa sebelum engkau mempelajari ilmu". [HR. Abu Nu'aim dalam Hilyah Al-Awliya' (6/330)]
Pesan dia ini kepada si perjaka Quraisy merupakan hasil didikan seorang ibu yang cerdik. Hal itu terus terukir dalam relung hatinya, hingga pun dia sudah menjadi imam dan ulama tersohor di zamannya, dia tetap mengingat pesan dan petuah emas yang diberikan oleh sang ibu kepada beliau.
Inilah kebiasaan bebuyutan di tengah para penuntut dari kalangan salaf. Mereka amat memperhatikan adab, budpekerti dan perangai gurunya (syaikhnya), bukan menyerupai di zaman ini, kebanyakan orang hanya memperhatikan kemampuan retorikanya dan candaan dari para ustadznya. Sementara budpekerti dan adabnya tidak mereka perhatikan. Apalagi guru (ustadz)nya memang tidak menampakkan dan menjaga budbahasa di majelis.
Sekarang ada baiknya kita menyimak kisah ajaib dari para salaf yang menggambarkan hebatnya perhatian mereka terhadap budpekerti gurunya.
Dari Al-Husain bin Ismail dari bapaknya, ia (bapaknya) berkata,
كَانَ يَجتَمِعُ فِي مَجْلِسِ أَحْمَدَ زُهَاءُ خَمْسَةِ آلاَفٍ أَوْ يَزِيدُوْنَ، نَحْوُ خَمْسِ مائَةٍ يَكْتُبُوْنَ، وَالبَاقُوْنَ يَتَعلَّمُوْنَ مِنْهُ حُسْنَ الأَدَبِ وَالسَّمْتِ.
"Dahulu orang-orang berkumpul di majelis Ahmad sekitar 5000 orang atau lebih. Sekitar 500 orang menulis, sedang sisanya mempelajari dari dia budbahasa dan perangai yang baik". [Lihat Siyar A'lam An-Nubala' (11/316)]
Mereka mengambil akhlaq dan budbahasa dari gurunya melalui verbal atau perbuatan gurunya. Bukan main, para penuntut ilmu dahulu bertahun-tahun menghinakan diri di depan gurunya untuk mengambil ilmu dan budbahasa dalam batas waktu tenggang puluhan tahun. Subhanallah, tekad yang hebar.
Abu Bakr Ya'qub bin Yusuf Al-Muthowwi'iy -rahimahullah- berkata,
اخْتَلَفتُ إِلَى أَبِي عَبْدِ اللهِ ثِنْتَي عَشْرَةَ سَنَةً، وَهُوَ يَقْرَأُ (المُسْنَدَ) عَلَى أَوْلاَدِهِ، فَمَا كَتَبْتُ عَنْهُ حَدِيْثاً وَاحِداً، إِنَّمَا كُنْتُ أَنْظُرُ إِلَى هَدْيِهِ وَأَخلاَقِهِ.
"Aku berbolak-balik kepada Abu Abdillah (yakni, Imam Ahmad selama 12 tahun, sedang dia membaca Al-Musnad di depan anak-anaknya. Aku tak pernah menulis dari dia sebuah hadits. Aku hanyalah memandang kepada petunjuk dan akhlaknya".[Lihat Siyar A'lam An-Nubala' (11/316)]
Al-Imam Abdullah bin Al-Mubarok Al-Marwaziy -rahimahullah- berkata,
طَلَبْتُ الأَدَبَ ثَلاَثِيْنَ سَنَةً، وَطَلَبْتُ الْعِلْمَ عِشْرِيْنَ سَنَةً، كَانُوْا يَطْلُبُوْنَ اْلأَدَبَ ثُمَّ الْعِلْمَ
"Aku telah mencari (mempelajari) budbahasa selama 30 tahun dan saya mencari (mempelajari) ilmu selama 20 tahun. Dahulu mereka (para salaf) mencari (mempelajari) adab, lalu (setelah itu) ilmu". [Lihat Tartib Al-Madarik (3/39) oleh Al-Qodhi Iyadh, cet. Mathba'ah Fadholah, dan Ghoyah An-Nihayah fi Thobaqot Al-Qurro' (1/446/no. 1885) oleh Abul Khoir Ibnul Jazariy, cet. Maktabah Ibnu Taimiyyah, 1351 H]
Demikian secuil nukilan dari kehidupan para salaf, generasi terbaik dalam menegakkan agama. Mereka yaitu kaum yang dikenal memelihara budbahasa dan menghiasi diri mereka dengannya. Semakin banyak ilmunya, maka semakin baik pula adabnya.
Adapun generasi sekarang, sebagian orang diantara mereka, semakin banyak ilmunya, maka semakin congkak dan kurang adab. Sebagian diantara mereka ada yang berlagak bagaikan orang awam yang jahil!!
Adab merupakan hiasan yang amat berharga pada diri seorang penuntut ilmu, bahkan budbahasa lebih berharga dibandingkan seorang anak yang hilang.
Disebutkan oleh Al-Imam Ibnu Jama'ah Al-Kinaniy -rahimahullah- bahwa Imam Asy-Syafi'iy -rahimahullah- pernah ditanya, "Bagaimana engkau mencari (mempelajari) adab?"
Imam Syafi'iy -rahimahullah- menjawab,
طلب المرأة المضلة ولدها، وليس لها غيره
"(Aku akan mencari adab) menyerupai halnya seorang wanita yang kehilangan dalam mencari anaknya, sedang ia tidak memiliki anak selainnya". [Lihat Tadzkiroh as-Sami' wal Mutakallim (hal. 41), cet. Maktabah Al-Imam Adz-Dzahabiy, 1424 H]
Nilai seorang penuntut ilmu bukanlah dilihat dari banyak ilmu yang ia kumpulkan, namun dilihat dari budbahasa yang menghiasi dirinya.
Seorang tabi'ut tabi'in, Makhlad bin Al-Husain -rahimahullah- berkata,
نحن إلى كثيرٍ من الأدبِ أَحْوَجُ منا إلى كثيرٍ من الحديثِ
"Kita ini lebih butuh kepada budbahasa yang banyak dibandingkan banyak hadits". [HR. Al-Khothib dalam Al-Jami' li Akhlaq Ar-Rowi (no. 11)]
Komentar
Posting Komentar